Kenapa Hotel Jarang Punya Lantai 13? Ini 5 Faktanya
Banyak hotel di seluruh dunia memilih untuk melewatkan lantai 13 dalam sistem penomoran mereka. Kalau kamu pernah naik lift di hotel-hotel besar, coba perhatikan baik-baik. Dari lantai 12, langsung lompat ke lantai 14. Seakan-akan lantai 13 gak pernah ada. Ini bukan sekadar kebetulan atau kesalahan teknis, tapi ada alasan kuat di balik keputusan ini. Fenomena ini gak cuma terjadi di satu atau dua tempat, melainkan di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Tapi apa sebenarnya yang melatarbelakanginya? Kenapa angka ini justru dihindari sampai ke level arsitektur gedung? Nah, di artikel ini bakal dikupas tuntas lima alasan unik kenapa lantai 13 seringkali gak ada di hotel.
1. Takut angka 13, sebuah keyakinan yang sudah mendarah daging
Banyak budaya di dunia menganggap angka 13 sebagai angka sial. Fenomena ini dikenal dengan istilah triskaidekaphobia, yaitu ketakutan terhadap angka 13. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman dahulu dan tetap bertahan hingga sekarang. Beberapa orang percaya bahwa angka 13 membawa energi negatif, kesialan, atau bahkan kejadian buruk yang bisa menimpa siapa saja yang berurusan dengannya.
Di banyak negara Barat, angka ini sangat dihindari, bahkan sampai mempengaruhi dunia bisnis, termasuk hotel. Hotel yang memiliki lantai 13 dianggap bisa mengalami penurunan jumlah tamu karena ada orang yang benar-benar menghindari menginap di lantai tersebut.
Dalam dunia bisnis perhotelan, kepercayaan ini menjadi faktor penting. Karena tamu adalah raja, pihak hotel gak mau ambil risiko kehilangan pelanggan hanya karena angka 13. Akhirnya, mereka memilih untuk melompati lantai tersebut dalam sistem penomoran. Kadang, lantai 13 diubah namanya menjadi 12A atau langsung lompat ke lantai 14. Jadi, bukan berarti lantai tersebut benar-benar gak ada secara fisik, hanya saja penomorannya diubah supaya tamu lebih nyaman.
2. Hotel menghindari risiko bisnis yang bisa merugikan
Dalam industri perhotelan, persepsi tamu itu segalanya. Kalau ada sesuatu yang bisa membuat tamu merasa gak nyaman, hotel harus segera mengatasinya. Angka 13 yang dianggap sial bisa berdampak pada keputusan tamu dalam memilih kamar.
Beberapa tamu mungkin akan minta pindah ke lantai lain kalau tahu mereka ditempatkan di lantai 13. Ini bisa menyebabkan kamar di lantai itu lebih sering kosong dibanding lantai lainnya, yang tentu saja bisa merugikan pihak hotel secara finansial.
Selain itu, kalau ada tamu yang mengalami kejadian buruk di lantai 13 misalnya kehilangan barang, jatuh sakit, atau hal lain yang gak diinginkan maka kepercayaan terhadap angka sial ini bisa makin kuat. Kabar buruk tentang hotel tersebut bisa menyebar dan membuat orang lain jadi ragu untuk menginap di sana. Jadi, untuk menghindari risiko bisnis yang gak perlu, hotel lebih memilih untuk gak memiliki lantai 13 sama sekali dalam sistem penomoran mereka.
3. Efek psikologis pada tamu yang bisa menurunkan pengalaman menginap
Meskipun gak semua orang percaya dengan angka sial, tetap aja ada yang merasa gak nyaman kalau harus menginap di lantai 13. Efek psikologis ini bisa cukup signifikan. Bayangkan kalau kamu punya sedikit kecenderungan takut angka 13, lalu dapat kamar di lantai itu. Pikiranmu bisa jadi was-was, tidur jadi kurang nyenyak, dan akhirnya pengalaman menginap jadi gak menyenangkan.
Perasaan cemas ini bisa memengaruhi kepuasan tamu, yang pada akhirnya berdampak pada ulasan dan rating hotel. Di era digital seperti sekarang, ulasan di internet punya pengaruh besar terhadap reputasi bisnis. Kalau ada tamu yang menulis pengalaman buruknya karena faktor angka 13, bisa saja calon tamu lain jadi enggan menginap di hotel tersebut. Inilah kenapa banyak hotel memilih jalan aman dengan menghindari lantai 13 agar tamu merasa lebih nyaman dan puas dengan pengalaman menginap mereka.
4. Pengaruh budaya timur yang punya takut angka sendiri
Gak cuma di budaya Barat, di Asia pun angka tertentu sering dikaitkan dengan kesialan. Contohnya, di China angka 4 dianggap membawa sial karena dalam bahasa Mandarin, pengucapannya mirip dengan kata ‘kematian’. Makanya, beberapa hotel di China bahkan menghilangkan lantai 4. Fenomena ini mirip dengan angka 13 di dunia Barat.
Karena industri perhotelan adalah bisnis global, banyak hotel yang mengikuti tren ini untuk menyesuaikan diri dengan tamu dari berbagai negara. Hotel-hotel internasional di Asia mungkin gak hanya melewatkan lantai 13, tapi juga angka-angka lain yang dianggap kurang beruntung di berbagai budaya. Ini adalah strategi bisnis yang cukup cerdas untuk menjaga kenyamanan tamu dari berbagai latar belakang budaya.
5. Faktor desain dan kepraktisan dalam konstruksi hotel
Terkadang, alasan hotel melewatkan lantai 13 juga berkaitan dengan aspek teknis dalam desain bangunan. Beberapa arsitek dan pengembang properti sengaja melewatkan lantai ini untuk menyederhanakan struktur bangunan atau mengikuti tren industri. Beberapa gedung memilih menggunakan ruang lantai 13 untuk keperluan internal, seperti area maintenance, ruang mesin, atau gudang, yang gak perlu diakses oleh tamu.
Selain itu, ada juga hotel yang mengadopsi sistem penomoran unik sebagai bagian dari branding mereka. Dengan melewatkan lantai 13, mereka menciptakan kesan eksklusivitas atau keunikan tersendiri yang membedakan hotel mereka dari yang lain. Jadi, alasan di balik penghilangan lantai 13 bukan cuma soal kepercayaan takhayul, tapi juga bisa jadi strategi desain dan pemasaran.
Fenomena lantai 13 yang dihindari oleh banyak hotel bukan sekadar mitos atau kebetulan, tapi ada alasan yang cukup masuk akal di baliknya. Hotel ingin memastikan tamunya merasa nyaman, puas, dan gak mengalami pengalaman buruk hanya karena angka di lift. Jadi, kalau suatu saat kamu menginap di hotel dan gak menemukan lantai 13, sekarang kamu sudah tahu alasannya. Unik, kan?
Referensi:
“Hotels With No 13th Floor”. Travel + Leisure. Diakses pada April 2025.
“The Mystery of Missing 13th Floors in Hotels”. Limepack. Diakses pada April 2025.
“Why Is There No 13th Floor in Hotels?”. NoBroker. Diakses pada April 2025.